Minggu, 02 Maret 2008

Kroneik

4 Januari 1942

Hari ini keluar maklumat Dewan MIAI yang menyatakan tidak bertanggungjawab atas maklumat Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Sikap itu diambil karena MRI mengeluarkan keputusan yang mendukung pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi serangan Jepang. PSII yang masuk sebagai anggota dalam dewan MRI menyatakan keluar dari dewan tersebut. Dewan MIAI sendiri mendukung sikap PSII yang keluar dari Majelis Rakyat Indonesia. Atas kejadian itu MIAI selanjutnya mengeluarkan maklumat:

  1. MIAI senantiasa bersedia dan tetap memelihara persatuan yang dikehendaki oleh Majelis Rakyat Indoensia.
  2. MIAI tidak turut bertanggungJawab atas maklumat yang disiarkan oleh pengurus harian dari Dewan Pemimpin Majelis Rakyat Indonesia tanggal 14 Desember 1941, supaya membulatkan perhatiannya dalam ikatannya MIAI
  3. MIAI memberi perintah pada semua anggota Dewan MIAI supaya sama-sama meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Dewan Pemimpin Majelis Rakyat Indonesia,
  4. MIAI setuju sama sikap yang diambil oleh PSII dengan pengharapan supaya membulatkan perhatiannya dalam ikatan MIAI.
  5. MIAI tetap memelihara sikap dan gerak perbuatannya yang sah dan halal menurut undang-undang negeri.

Maklumat tersebut ditandatangani W.Wondoamiseno dan H.M. Dachlan selaku ketua dan sekretaris pengurus Dewan MIAI.

(Sin Tit Po, 7 Januari 1942)

7 Januari 1942

PUSA mengirim utusan ke Pulau Pinang (Bangka) dalam upaya membantu pihak Jepang memasuki wilayah Aceh. Keputusan itu diambil mengingat Jepang dapat membebaskan daerah Aceh dari genggaman pemerintah Hindia Belanda. Utusan yang dikirim itu dipimpin oleh Tengku Ali Basyah, dan 6 orang anggota. (DPK, Sejarah Revolusi Aceh, 1983: 37).

9 Januari 1942

Dewan MIAI mengadakan rapat di kantor MIAI Surabaya. Rapat yang dihadiri para anggota dan pembantu seperti W. Wondoamiseno, Oemar Hoebis, H.M. Dachlan, M.H. Mansoer, R. Wiwoho (pengganti Dr. Soekiman), H. Hadikoesoemo, H. Harjin, H. Machfoed Siddiq, Abikoesno Tjokrorejoso, menanggapi kejadian-kejadian yang tak menentu di lingkungan MRI, sehingga memutuskan:

  1. MIAI senantiasa bersedia dan tetap memelihara persatuan yang dikehendaki oleh Majelis Rakyat Indoensia.
  2. Disebabkan tidak tertibnya perjalanan maklumat pengurus Harian Dewan Pemimpin Majelis Rakyat Indonesia tertanggal 1941, maka MIAI tidak akan mencampurinya.
  3. MIAI tetap memelihara sikap dan gerak perbuatannya yang sah dan halal menurut undang-undang negeri.

(Sin Tit Po, 12 Januari 1942).

23 Januari 1942

Seluruh pembesar bangsa Belanda dan pengawal pemerintah Hindia Belanda lainnya di tangkap di Gorontalo. Penangkapan terhadap pembesar Belanda itu menanggapi upaya pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo yang berencana melakukan aksi bumi hangus menjelang kedatangan Jepang ke Makasar. Rencana itu dapat digagalkan setelah Saripah Rahman Hala, seorang kaki tangan Asisten Residen Corn di Gorontalo, kembali berpihak ke Indonesia, dan membocorkan rencana bumi hangus kepada O. Kaharu dan Ahmad Hipy, seorang anggota Komite Indonesia Berparlemen. Dari laporan itu, Ahmad Hipy meneruskan kepada R.M Kusno Danupojo, Ketua Umum Komite Indonesia Berparlemen, dan selanjutnya laporan itu menjadi berita penting. Atas pimpinan R.M.Kusno Danupujo dan Nani Wartabone dengan dibantu yang lainnya melakukan perampasan kekuasaan dari para pembesar-pembesar Hindia-Belanda di Gorontalo. Peristiwa itu dalam waktu berikut diketahui sebagai Peristiwa Gorontalo Merdeka.